Sekilas Tentang Ala Ayuning Dewasa di Bali
Seorang keponakan suami bercerita kepada saya bahwa ia membeli rumah. “Tapi belum ditinggalin.Kata papa lagi mau cari hari baik untuk selamatan. Kenapa ya?. Kan semua hari adalah baik?”Tanyanya. Saya
tertawa mendengarnya. Kebetulan ayah dari keponakan suami saya ini
berasal dari Bali. Setahu saya memang begitu biasanya di Bali. Selalu
melihat kalender untuk mencari waktu yang ‘tepat’ jika mau melakukan
sesuatu.
epsilon
Memang agak
susah menjelaskan kepada orang yang tidak besar di lingkungan adat Bali.
Terlalu njelimet dan belum tentu dianggap masuk akal. Tapi berhubung
keponakan ini bertanya, saya berusaha menjelaskannya semampu saya
sebagai orang biasa – yang sekedar tahu kebiasaan di Bali karena
menjalaninya seperti itu setiap hari. Namun saya bukanlah ekspert di
bidangnya.
Ya. Setuju
sekali. Semua Hari Adalah Baik. Tidak ada hari yang buruk. Namun
masyarakat Bali memahami adanya “Waktu Yang Tepat” untuk melakukan suatu
aktifitas tertentu. Demikian juga ada “Waktu yang Kurang Tepat” untuk
aktifitas yang lain. Perhitungan waktu ini disebut dengan “Ala Ayuning
Dewasa”, yang kalau diterjemahkan bebas, maksudnya adalah “Baik Buruknya
Waktu”. Namun tentu saja tidak bisa diterjemehkan secara harfiah
dangkal bahwa Hari A itu Baik, sementara Hari B itu
jelek. Bukan begitu. Bisa saja hari A itu bagus untuk melakukan
kegiatan a,b,c,d namun kurang bagus untuk melakukan kegiatan x,y,z. Jadi bukan baik atau buruk dalam segala hal.
Saya tidak
jago dalam melakukan perhitungannya, tapi karena pernah diajarkan saat
di bangku Sekolah Dasar dalam mata pelajaran yang bermuatan daerah,
sedikit-sedikit saya masih ingat juga. Namun seperti orang lain, untuk
memudahkan, biasanya saya tinggal mengintip di kalender traditional saja. Karena lebih praktis.
Ada banyak jenis Dewasa Ayu di sana. Ada yang disebut Gni Rhwana, Amerta Bumi, Amertha Dadi, Karna Sula, Babi Munggah, Ayu Nulus, Cintamanik, Dewa Nglayang, Bojog Turun, dan sebagainya banyak sekali. Jumlahnya berpuluh-puluh. Setidaknya yang saya ingat dengan baik adalah “Gni Rhwana” dan “Karna Sula” karena Bapak saya pernah menceritakan cukup panjang lebar mengenai hal ini kepada saya ketika saya kecil.
Gni Rhwana
– sesuai dengan namanya, hari Gni Rhwana adalah hari dimana Api
memiliki kejayaan dan kemegahannya. Karena Gni artinya Api, sedangkan
Rhwana adalah rajanya raksasa. Masyarakat Bali percaya,bahwa pada hari
Gni Rhwana ini adalah hari yang sangat baik untuk melakukan segala
aktifitas yang berkaitan dengan Api. Melakukan aktifitas di Merapen
(workshop bagi kaum Pande emas, perak, logam lainnya), membakar batu
kapur, membakar gerabah, batu bata, membakar somi (jerami batang padi
sehabis panen) dan sebagainya. Semua hasil pembakaran akan optimal.
Namun karena api akan menjadi sangat besar, tentu tidak sesuai untuk
aktifitas yang lain yang tidak membutuhkan api besar berkobar. Misalnya,
orang-orang jadi tidak merasa nyaman jika hari itu memasang atap rumah.
Karena atap rumah (apalagi jaman dulu atap rumah orang Bali biasanya
terbuat dari alang-alang) rentan kebakaran. Orang juga menghindarkan
untuk melaspas rumah (upacara selamatan untuk rumah baru). Dan
menghindar untuk bercocok tanam hari itu, agar terhindar dari
kekeringan.
Contoh lain adalah hari Karna Sula.
Pada hari itu dipercaya bahwa suara akan mendapatkan amplifikasinya.
Suara yang baik akan terdengar bertambah baik. Sedangkan suara yang
buruk akan terdengar semakin buruk. Hari
baik untuk membuat atau membeli gamelan. Juga baik untuk membuat kulkul
(kentongan kayu atau bambu), membuat sunari (baling-baling angin yang
dipajang tinggi di udara dengan bantuan bambu untuk menghasilkan musik
alam yang sangat merdu), atau membuat genta atau bajra bagi para pendeta
untuk menuntun umat dalam persembahyangan. Dan berbagai alat
bunyi-bunyian lainnya. Semua dilakukan pada hari Karna Sula. Bahkan hingga membuat keroncongan yang diikatkan di leher sapi-pun dilakukan pada hari itu.
Namun pada hari yang sama, yakni
hari Karna Sula itu, orang-orang akan cenderung mengurangi bicara.
Karena jika kita salah sedikit saja berbicara, maka akan terjadi
amplifikasi buruk.Sehingga akan menjadi sangat menyakitkan bagi telinga
orang lain. Orang-orang akhirnya akan memilih diam saja. Ataupun jika
berbicara, maka akan sangat berhati-hati dan berusaha keras untuk hanya
berbicara yang baik-baik saja. Jadi,
para tetua adat biasanya tidak akan menyarankan untuk dilakukannya
meeting, rapat dan berbagai jenis pertemuan lainnya. Bahkan tidak
disarankan untuk membangun rumah dan membuat tempat tidur, agar
kelelapan tidur penghuninya tidak terganggu.
Semua Dewasa atau hari-hari yang lain juga memiliki ceritanya masing-masing. Pada saat hari Babi Munggah,
petani di Bali tidak akan memulai bercocok tanam untuk mencegah agar
hasil panennya tidak rusak. Lalu orang akan cenderung meresmikan
awig-awig (peraturan/perundang-undangan) pada hari Kala Guru. Tidak melakukan pekerjaan besar dan penting pada hari Geheng Manyinget agar tidak terjadi banyak gangguan. Akan membuat lumbung pada hari Amerta Dewa dan sebagainya.
Boleh percaya tau tidak. Setuju atau tidak setuju, namun
memang begitulah adanya kehidupan masayarakat di Bali. Lalu apakah
dengan demikian, berarti masyarakat Bali pintar meramal? Atau sok tahu
mendahului kehendak Tuhan? Tidak juga.
Bagi
masyarakat di Bali, Ala Ayuning Dewasa bukanlah soal urusan ramal
meramal nasib perorangan (Fortune telling), namun urusan meramal dengan
hitung-menghitung yang berlaku umum. Forecasting! Seperti ramalan cuaca.
Para ahli bisa menentukannya dengan bantuan pengalaman dan alat bantu. Juga seperti para petani meramalkan musim tanam dengan hanya memandang posisi bintang di langit. Demikian juga Ala Ayuning Dewasa pada prinsipnya bekerja.
Masyarakat
sangat percaya akan kehendakNYA. Jika Beliau sudah menghendaki apapun
bisa terjadi dan tidak ada manusia yang bisa mendahuluiNYA. Namun
masyarakat percaya bahwa ilmu Ala Ayuning Dewasa ini tentu ditulis oleh
para ahlinya berdasarkan pengamatan dan penelitian selama beratus-ratus
tahun secara turun-temurun. Berdasarkan pencatatan atas kejadian
sehari-hari yang dikaitkan dengan penanggalan. Sehingga pada suatu saat
disusunlah kalender dengan Ala Ayuning Dewasa itu hanya sebagai saran.
Boleh diikuti sarannya, boleh tidak. Terserah masyarakat.
Itulah
sebabnya mengapa akhirnya penanggalan menjadi sangat penting di Bali.
Sedikit-sedikit lihat kalender untuk mencari Dewasa Ayu (waktu yang
tepat). Karena setiap aktifitas ada hitungannya. Jadi harus direncanakan
dengan baik, dengan maksud agar semuanya berjalan dengan baik, halus
dan mulus tanpa banyak rintangan.
Itulah Ala Ayuning Dewasa, salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh Nusantara kita.
epsilon
0 komentar:
Om swastyastu