Aku Lajang, tapi Tak Perawan
*
*
Kolaborasi : Langit & Granito
***
Kata orang, hidup penuh perjuangan. Demi sesuap nasi. Demi
keluarga. Demi segenggam berlian. Demi rumah mewah. Demi gengsi. Demi
eksis dilingkungan pergaulan, demi sebuah kesenangan, dan demi… Demi
apapun… Namanya juga hidup.
Di sebuah apartement nan jangkung, kawasan Jakarta,
Di sebuah apartement nan jangkung, kawasan Jakarta,
Jarum jam menunjuk angka sembilan
pagi, ketika gadis manis berlingerie hitam itu menuju kamar mandi. Ia
kelihatan terburu-buru, meninggalkan bantal guling yang masih tercecer
di atas karpet bulu-bulu bersama bra hitam yang ia tanggalkan sebelum
tidur malam tadi.
Namanya Dilla. Datang ke ibukota dengan
tujuan yang mulia, mencari ilmu di kampus ternama. Usianya 24 tahun.
Tubuhnya tinggi langsing, kulitnya kuning langsat, mirip sekali dengan
pemain sinetron Pevita Pearce. Nyaris sempurna. Laki-laki mana yang tak
kan tergoda?
Tiga puluh menit berlalu. Pintu kamar
mandi terbuka. Kini ia hanya dengan lilitan handuk di badannya, juga di
kepalanya. Beberapa tetes air masih mengalir dari rambutnya yang masih
basah, sebagian menyelinap ke belahan dadanya. Aroma wangi menyeruak ke
segenap ruangan, berasal dari ujung rambut hingga jari-jemari kakinya.
Ah Dilla, kau seorang gadis yang nyaris sempurna…
Satu persatu ia pungut barang-barang yang tercecer di lantai kamarnya,
kemudian melemparkan sekenanya di atas ranjang empuknya. Bertepatan
dengan itu, HP nya berdering.
“Halo Jen…”
Sapanya kepada seseorang di sana. Jen, maksudnya Jeni, seorang
transgender yang telah lama ia kenal di luar sana. Yang telah berjasa
besar terhadapnya. Mengenalkannya kepada pejabat-pejabat atapun
pengusaha nan kaya raya.
“Laris manis deh
booow… Malam ini jangan lupa yey ditunggu Babeh Gendut di hotel tempat
biasa jam tujuh. Trus besok babeh Jangkung mau ajak yey ke puncak.
Lumayan loh boooow, lima belas jeti dua malam nemenin babeh Jangkung…
Doi udah cucok sama yey, ga mau yang laen. Mau ya cyiiiin??” Suara kemayu Jeni di seberang sana penuh harap. Lumayan, ia juga mendapatkan komisi besar, bila berhasil dalam tawar menawar.
“Nanti gue kabari Jen. Sekarang mau buru-buru ke kampus. Ada pemotretan juga setelahnya …”
“Oceee deh cyiiin.. Eyke tunggu kabarnya..Mwaaaaach cantiiik….”
Klik. Telpon ditutup. Gadis cantik itu melanjutkan kegiatanya. Mengeringkan rambut. Merapikan diri. Dandan. Ke kampus.
***
“Nama
lengkapku Nadilla. Kata orang, fisiku nyaris sempurna. Sudah hampir lima
tahun aku di Jakarta. Oleh orang tuaku aku di kuliahkan di sebuah
kampus ternama. Tapi aku telah mengecewakan mereka. Kuliahku kadang
kutelantarkan begitu saja. Dan memilih mencari uang demi kesenangan
semata. Awalnya sebagai model. Kemudian menemani pria-pria kesepian.
Seorang teman mengajariku. Uang mengalir secara instan. Buat jajan
gadget terbaru. Baju-baju bermerk. Tas. Sepatu. Jalan-jalan.
Bersenang-senang.
Nama
panggilanku Dilla. Aku lajang, tapi tak lagi perawan, bukan karena aku
jual, anggap saja sebuah kecelakaan. Tiga tahun lalu, disebuah pesta.
Seorang lelaki berkenalan denganku. Ada setrum. Gelora yang
bergulung-gulung. Ciuman. Pelukan, lalu berakhir dengan tidur
seranjang.”
***
Pagi hari suasana kamar hotel sepi. Pria berperut buncit itu rupanya
sudah pergi, Babeh Gendut, demikian biasanya Jeni memanggil. Seorang
pejabat yang telah beranak istri. Tinggal Dilla sendiri, dengan tubuh
menggelepar dan selimut acak-acakan. Di meja lampu, segepok uang dengan
jumlah enam juta membinarkan matanya. Ia segera berdiri, dengan senyum
mengembang dibibir mungilnya. Sebuah memo tergeletak di bawah tumpukan
uang : Terima kasih sayang, denganmu aku merasa puas…
Dilla masih tersenyum, kali ini lebih
lebar dari sebelumnya. Selebar dadanya yang masih terlihat jelas. Ada
bekas kemerahan di sana-sini. Rupanya si Babeh meninggalkan sejumput
jejak di pori-pori kulitnya. Sejenak ia melihat pantulan dirinya di kaca
selebar dinding hotel. Tanpa apa-apa. Lalu ia buru-buru ke kamar mandi.
Membersihkan diri. Rapi-rapi. Kemudian pergi. Selekas terik siang
merambah sejumlah dinding beton.
***
Dalam mobil Honda Jazz merah,
perempuan itu menuju apartmennya. Lantunan lagu Vina Panduwinata
menjerit dari speaker mahal, menemaninya menyusuri jalanan yang pagi itu
tampak lengang.
“Aku Dilla. Aku memang lajang yang tak lagi perawan. Tak ada yang ku sesali dengan keperawanan. Pada akhirnya itu adalah jalanku mencari uang instan. Sudah basah, nyebur aja sekalian, begitu orang bilang. Orang tuaku tak ada yang tau. Biar saja. Ia berada di luar pulau nan jauh di sana. Pesannya dulu : Jaga diri baik-baik nak. Jangan bikin malu orang tua. Nyatanya aku adalah anak durhaka. Si anak manis yang kini menjelma menjadi iblis. Bagiku, uang adalah kesenangan. Tak peduli dengan kata orang. Yang penting aku eksis dalam pergaulan. Punya gadget terbaru dan baju-baju mahal. Toh tak ada yang aku rugikan bukan??”
“Aku Dilla. Aku bukan koruptor, aku bukan penipu rakyat. Aku bukan pula sang munafik, yang berkoar-koar tentang kebenaran pada pagi hari, kemudian berdesah-desah denganku selagi malam. Aku hanya menjalani hidup yang sementara ini dengan caraku. Bukankah setiap manusia berhak atas caranya masing-masing??”
Lagu Vina Panduwinata masih mengalun dalam mobilnya. Burung camar, tinggi melayang. Bersahutan, di balik awan. Membawa angan-anganku jauh meniti buih. Lalu hilang larut di lautan…
***
Sore kian merangkak. Di lobi
apartment, seorang pria jangkung tersenyum menyambut kedatangan Dilla.
Gadis itu menyambutnya dengan senyum. Rupanya ia tak sabar menanti sang
gadis cantik tersebut turun dari kamarnya. Terbukti sang pria segera
merengkuhnya dengan sebuah pelukan, juga cipika-cipiki layaknya seorang
kekasih. Kemudian keduanya bergandengan tangan menuju Toyota Fortuner
hijau metalik milik sang pria di parkiran.
Babeh Jangkung, demikian Jeni sang
makelar menyebutnya. Pria yang lebih pantas menjadi ayah Dilla ini
adalah seorang pengusaha berlian. Uangnya berlimpah. Kabarnya memiliki
istri yang doyan selingkuh juga. Kedua anaknya kuliah di Boston.
Ini adalah pertemuan yang ke sekian
kalinya. Demi mereguk kenikmatan sesaat bersama sang gadis. Uang baginya
bukan masalah. Keduanya saling membutuhkan. Yang satu butuh kenikmatan,
sang satu butuh uang. Sebuah kesenangan yang hanya sementara.
Kesementaraan yang memabukkan. Kesementaraan yang dirindukan sebagian
besar orang.
Namaku
Dilla. Aku lajang, tapi tak lagi perawan, bukan karena aku jual, anggap
saja sebuah kecelakaan. Dan kini, aku bersama si om senang, untuk
mereguk secangkir kenikmatan. Demi uang. Demi senang-senang.
Mobil yang dikendarai sang pria kini
menyeruak tol menuju puncak. Sebuah villa nan mewah telah ia sewa di
sana. Tangan jahil si Jangkung rupanya tak betah hanya berkonsentrasi
menjalankan kemudi. Sesekali ia mencubit bagian-bagian tubuh sang gadis.
Dilla hanya menyambutnya dengan pekikan kecil.
Tak hanya itu, rupanya sang pria memang
sudah tak sabar menunggu tiba di vila yang ia pesan. Sesekali ia mulai
mendaratkan ciumannya di pipi maupun bibir sang gadis. Tangan kirinya
tak berhenti begerilya, meraih sesuatu yang bisa ia raih, pundak,
pinggang, dada, paha, semuanya dan semuanya.
Nafsu rupanya mengalahkan segalanya. Sementara, mobil yang ia kendarai
mula tak stabil, tapi keduanya semain diburu nafsu. Tanpa sadar malaikat
pencabut nyawa tengah tersenyum-senyum manis di hadapannya. Mobilpun
oleng, menabrak pagar pembatas jalan, berguling tiga kali, terbalik,
kemudian meluncur bebas diatas aspal dalam posisi terbalik, baru
berhenti setelah bagian depannya bertubrukan dengan pohoh besar di tepi
jalan. Hancur, serupa kertas yang tersobek-sobek.
***
Namanya Dilla. Datang ke ibukota
dengan tujuan yang mulia, mencari ilmu di kampus ternama. Pagi ini ia
duduk di sebuah kursi roda. Tatapannya kosong, melihat ke arah
cakrawala. Sepotong pakaian pasien menutup tubuhnya yang kini bagai
seonggok daging kering. Ada bekas jahitan di sana-sini. Satu yang paling
jelas terlihat di dahinya sepanjang sepuluh senti. Mulutnya menggumam
sesuatu, sesuatu yang pernah ia dengar: Memento Mori.
epsilon
0 komentar:
Om swastyastu