Kebangkitan Agama Hindu di Jawa, Indonesia

Saya mengutip dari sebuah forum dan saya tertarik untuk menuliskannya disini. Jangan sampai ada yang tersinggung karena membaca ini karena tidak ada maksud untuk memojokkan. Hanya untuk share aja.
Kebangkitan Gerakan Agama Hindu di Jawa, Indonesia
Oleh Thomas Reuter
Selama 1000 tahun, kerajaan2 Hindu subur di Jawa, sampai datangnya
Islam di abad ke 15. Tetapi, di tahun 1970-an, bangkit kembali
sebuah gerakan Hindu yg menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia.
Agama Hindu bahkan mendapat lebih banyak pengikut di saat negara
sedang menghadapi berbagai krisis, terutama di Jawa, pusat politik
di Indonesia.
Berdasarkan riset etnografis atas lima kelompok masyarakat pada
candi2 Hindu besar, tulisan ini menelaah sejarah politik dan
dinamika sosial bangkitnya kembali agama Hindu di Jawa.
Saya tertarik pada Jawa setelah melakukan penelitian selama 10 tahun
di Bali. Kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai
keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang
menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang berziarah ke
kuil2 Hindu di Jawa semakin bertambah. Malah mereka sering terlibat
dalam pembangunan kuil2 dan pelaksanaan ibadah Hindu baru di Jawa.
Mereka juga mendominasi perwakilan kaum Hindu di taraf nasional. Dan
banyak pendeta2 Hindu Jawa yang dilatih di Bali.
Hal yang paling mempengaruhi gerakan ini :

1) Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sejarah dan Politik
a)
Banyak orang Jawa masih mempertahankan kepercayaan warisan tradisi
Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini
dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan,
nama yg dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil
masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini
adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger
(Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. Orang2 `Hindu’ Jawa yang ditulis
di laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad
untuk memeluk agama Hindu.
Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik
Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang
secara resmi murtad atau `kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu
dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang
organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya
bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak
sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan
besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya
berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan
laporan agama resmi. Menurut pengamatan saya, banyak yang pindah
agama tapi tidak melaporkan diri.
Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata
lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan
secara independen selama penelitian saya di Jawa Timur menunjukkan
bahwa tingkat cepatnya proses pindah agama melesat secara dramatis
selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun
1998.
Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional
sehingga orang2 beragama Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka
secara resmi. [2] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi
diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan di tahun
1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu.
Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang
kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya
untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik
Bali saja (Ramstedt 1998).
Di awal tahun 70-an, orang2 Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini
dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi
oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan
masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan
hal yang sama (Bakker 1995).
b)
Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu
memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti
komunis di tahun 1965-66 (Beatty 1999). Orang2 yang tidak dapat
menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh
komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut
Hindu karena juga ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi
masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik
dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah
melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya
organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi2 Islam
besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota2 muda NU tidak hanya
aktif membunuhi orang2 komunis tapi juga unsur2 Jawa Kejawen atau
anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno
selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987).
Demi keslamatan nyawa, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan
diri mereka sebagai Muslim.
Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama
apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi2
Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih,
tapi ia lalu mengajukan tawaran2 kepada kelompok Islam di masa itu
karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap
rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara
terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner
1997).
Kekuatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang
mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program2 pendidikan
Islam besar2an dan pembangunan mesjid2 melalui Departemen Agama dan
sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang
sama, terjadi pembunuhan2 oleh ekstrimis Muslim atas orang2 yang
dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen.
(Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh `ninja’ yang
terjadi di desa2 terpencil di Jawa?)
Pengalaman2 pahit dan penindasan2 membuat para penganut Kejawen
takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999,
orang2 yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan
Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan
identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan
tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara2 tertentu
yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat
politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang
menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Sumber2
keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka
kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini
diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya
diri..
2)Kebangkitan Agama Hindu dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Ciri2 umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah
kecenderungan untuk berkumpul di pura2 yang baru saja dibangun atau
candi2 kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat
Hindu. Satu dari pura2 Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah
Contoh, Candi Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung
Semeru. Ketika candi ini selesai dibangun pd bulan Juli 1992 dengan
bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara
resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999
menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari
5.000 keluarga.
Perpindahan agama besar2an yang sama juga terjadi di daerah sekitar
Candi Agung Blambangan yang merupakan candi baru yang dibangun di
daerah sisa2 kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politis Hindu
terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka
Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan
petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa (kemerdekaan
spiritual).
Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar
Candi Pucak Raung (di Jawa TImur) yang baru saja dibangun. Daerah
ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana begawan Hindu,
Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan
perjalanan ke Bali dan dengan itu membawa agama Hindu ke Bali di
abad 5 M.
Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindukuno di
Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota
kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk
mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai
tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah
Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan
Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di
Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga
berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di
dekat Candi Prambanan.
Candi Prambanan
Selain itu candi2 besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran
baru bagi masyarakat setempat. Selain mengundang biaya bagi
pekerja2, pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya
peziarah Bali yang terus menerus ke candi2 nasional itu menciptakan
suatu industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama
menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan toko2 yang
menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para
pendatang. Pada hari2 raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang
setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi
besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat.
Kemakmuran ekonomi orang2 Bali juga membuat penduduk setempat
berpendapat bahwa `budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan
keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam’.
3) Kebangkitan Hindu sebagai Pemenuhan Ramalan Utopia (negara
impian)
Pihak pendukung dan penentang agama Hindu biasanya menghubungkan
bangkitnya agama Hindu secara tiba2 di Jawa dengan ramalan terkenal
Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa
utopia dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan
ini berbeda antara kedua pihak.
Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang
semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan
besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti
dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan
krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar
yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin
menumbuhkan harapan itu.
Presiden Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih
secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada
masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua
Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan. [3] Masyarakat luas
menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati
Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung.
Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman
Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan
baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai
dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.
Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya
V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa
Saabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk
memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk
kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya
korupsi politik dan bencana2 alam besar, untuk mengenyahkan Islam
dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu
Jawa.
Beberapa candi Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang
selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Candi Blambangan di
daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di
waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan
Sabdapalon.Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip
ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa
kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan
karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan
menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai2
Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tatacara
ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, `kembalinya
Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan
membangkitkan kembali iman Islam.
Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia
adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh
Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan
Jayabaya juga seringkali didiskusikan di koran2. Ramalan2 kuno ini
memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam
masyarakat Indonesia.
Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di
Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 M (Buchari 1968:19). Dia
terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena
kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena
keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi
kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa
Wishnu dan dianggap sebagai `ratu adil’ yakni raja yang bijaksana
yang muncul di jaman edan di akhir putaran tatasurya untuk
menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di
dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru
telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, “jika
kendaraan2 besi bergerak sendiri tanpa kuda2 dan kapal2 berlayar
menembus langit”), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan
menyatukan Indonesia kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan
kepada awal jaman keemasan yang baru.
Dugaan terjadinya bencana besar dan utopia ini mengingatkan akan
berakhirnya putaran tatasurya di masa kejayaan yang lampau untuk
masuk ke jaman sekarang yang penuh kebobrokan moral, dan perlu
diperbaiki kembali di masa depan dengan mengulangi kembali kejayaan
di masa lampau.
Orang2 Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dgn penuh
kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan
Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya
adalah seorang Muslim dan sabdapalon tidak mau masuk Islam karena
saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak
murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan
dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya
bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar2an dan
mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa
sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana
dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan
kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.
Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat
Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan
kunjungan2 rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali
sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum
dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja
Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [4] Setelah kunjungan
pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut
pengakuan pendeta2 Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka
untuk waktu lama tentang ramalan2 Jayabaya dan kedatangan kembali
ratu adil.
Bukit Penulisan

- –
Footnotes
[1] Islam, for example, incorporated elements from the tribal
traditions of Arab peoples and from Jewish and Christian texts such
as the ‘Old Testament’.
[2] The other four state-recognized religions (agama) are Islam,
Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of
Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the
state as minor
‘streams of belief’ (aliran kepercayaan) or are simply treated as a
part of different local ‘customs and traditions’ (adat).
[3] As I am writing this, parliamentary procedures have been set
into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on
allegations of his involvement in corruption scandals.
[4] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and
was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD
(Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its
inner sanctum, including one depicting Airlangga’s younger brother
Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship
connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern
Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya’s predecessor
Airlannga, for example, was a Balinese prince.
[5] Sometimes apocalyptic expectations can reach such a pitch that
members of the movement concerned may feel a need to bring about the
very cataclysm the have been predicting. The poison gas attack in
Tokyo launched by Japan’s AUM Shinokio sect is a recent example. It
is still uncertain whether the recent bomb attacks on Javanese
Christian churches over the christmas period of 2000 were the
responsibility of radical religious groups, or were instigated by
other political interest groups wishing to destabilize the country
by inciting simmering inter-religious conflicts in Java to the same
level of violence as in the troubled Molukka Province.
References
Adorno, T. W. 1978. ‘Freudian Theory and the Pattern of Fascist
Propaganda’. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential
Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.
Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The
religious aspect. Paper presented at the Third International Bali
Studies Workshop, 3-7 July 1995.
Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge:
Cambridge University Press.
Buchari 1968. ‘Sri Maharaja Mapanji Garasakan’. Madjalah Ilmu-Ilmu
Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.
Ellingsen, P. 1999. ‘Silence on Campus: How academics are being
gagged as universities toe the corporate line’. Melbourne: The Age
Magazine, 11.12.1999:26-32.
Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance:
Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of
Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies,
Australian National University.
Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of
Chicago Press.
Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam.
Princeton: Princeton University Press.
Hefner, R. 1987. ‘The Political Economy of Islamic Conversion in
Modern East Java’. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy
of Meaning. London: Croom Helm.
Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley:
University of California Press.
Hefner, R. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’. In
R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States:
Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu:
University of Hawaii Press.
Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the
Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.
Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge
(N.J.): World Scientific.
Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from
Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.
Lyon, M. 1980. ‘The Hindu Revival in Java”. In J. Fox (ed.),
Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of
Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Ramstedt, M. 1998. ‘Negotiating Identity: ‘Hinduism’ in Modern
Indonesia’. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.
Reuter, T. 1998. ‘The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain
in the Highlands of Bali’. Review of Indonesian and Malaysian
Affairs, 32 (1):55-109.
Schwartz, H. 1987. ‘Millenarianism: An overview’. In M. Eliade
(ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York:
MacMillan.
Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge
and Kegan Paul.
Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi.
Yogyakarta: Media Pressindo.
Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T
Yudha Gama.
Stewart, K. & Harding, S. 1999. ‘Bad Endings: American Apocalypsis’.
Annual Review of Anthropology 28:285-310.
Stewart, P.J. 2000. ‘Introduction: Latencies and realizations in
millennial practices’. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on
Millenarian Movements.]
Timmer, J. 2000. ‘The return of the kingdom: Agama and the
millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia’. . Ethnohistory
47(1):29-65.
Note: Dr Thomas Reuter is Queen Elizabeth II Research Fellow at the
University of Melbourne’s School of Anthropology, Geography &
Environmental Studies. This paper was published in The Australian
Journal of Anthropology and is being reproduced with their
permission.
http://www.swaveda.com/articles.php?action=show&id=49
Note: Dr Thomas Reuter is Queen Elizabeth II Research Fellow at the
University of Melbourne’s School of Anthropology, Geography &
Environmental Studies. This paper was published in The Australian
Journal of Anthropology and is being reproduced with their
permission.

epsilon

0 komentar:

Om swastyastu

Copyright © 2012 SANKARACARYA .