Rumah Murah Tak Ada, Rumah Mahal Susah Digapai

1387076659223398432

Anda yang punya pengalaman mencari rumah belakangan ini, pastilah merasakan betapa melambungnya harga jual rumah. Saya ingin berbagi pengalaman soal bagaimana susahnya mencari rumah impian ini.

Akhir September lalu, saya dan istri berniat mencari rumah. Maklum, setelah sekian tahun di Jakarta masih terus jadi kontraktor alias pengontrak. Akhirnya kami datang ke sebuah perumahan di kawasan Pinang, Tangerang. Saat itu harga rumah tipe sedang masih sekitar Rp 399 Juta. Sayangnya, kami saat itu belum memiliki dana persiapan untuk DP dan biaya-biaya.

Nah, pada awal Oktober 2013 lalu, kami kembali ke perumahan itu untuk melakukan pembelian secara kredit. Namun alangkah terkejutnya, saat marketing perumahan itu menunjukkan brosur daftar harga rumah saat ini. Rumah yang tadinya Rp 399 juta, sekarang harganya sudah Rp 560 juta. Karena tak mungkin membeli rumah seharga setengah miliar begitu, kami akhirnya beralih ke tipe paling kecil, luas bangunan 36 dan luas tanah 60. Booking fee kami bayarkan Rp 1 juta, dengan catatan sisa Rp 4 juta akan kami transfer keesokan hari karena saat itu tidak membawa uang tunai.

Setelah tiba di rumah, baru kami berpikir lagi bahwa rumah tipe 36/60 itu kecil sekali. Keesokan harinya, karena penasaran kami kembali ke lokasi perumahan itu dan melihat lagi bentuk rumah tersebut. Ternyata memang kecil sekali. Lebar dapurnya paling hanya sekitar satu meter. Terbatas sekali.

Kami keliling ke perkampungan di sekitar perumahan mencari rumah baru atau rumah seken. Ternyata harganya semua sudah naik juga. Ada rumah bagus harganya hanya Rp 350 juta namun lokasinya di dalam gang sempit, sehingga rasanya sulit disetejui bank jika mengajukan KPR. Ada rumah 3 kamar harganya hanya Rp 325 juta, namun belum Sertifikat Hak Milik. Pencarian kami berujung pada sebuah rumah milik teman istri saya yang berada di dalam satu komplek perumahan dengan rumah yang semula akan kami beli. Tipenya lebih besar (55/72) dan sudah siap huni dengan harga yang lebih murah dibanding harga rumah baru yakni Rp 450 juta.

Akhirnya kami sepakat akan mengurus KPR untuk rumah tersebut. Dan konsekuensinya rencana pembelian rumah baru batal dan booking fee yang 1 juta hangus. Dengan hitungan cicilan KPR minimal 30 % penghasilan, kami optimis akan lolos di Bank.

Saya pun mengurus KPR ke sebuah bank. Setelah 1 minggu kami diminta mentransfer uang untuk biaya appraisal Rp 500.000. Keesokan harinya, petugas survei datang memeriksa rumah. Dan alangkah kecewanya kami ketika petugas Bank memberitahu bahwa hasil penilaian petugas appraisal, harga rumah tersebut hanya Rp 311 juta dan Bank hanya bersedia membiayai Rp 249 juta atau 80% dari penilaian appraisal. Mengingat masih besarnya dana yang harus saya siapkan, saya akhirnya menolak dan membatalkan KPR tersebut. Uang Rp 500 ribu untuk biaya appraisal pun ikut hangus.

Semula saya sudah menyerah, ingin menghentikan niat membeli rumah saja mengingat gilanya harga dan gilanya petugas appraisal memberi nilai kecil untuk rumah yang akan kita beli. Namun karena pemilik rumah masih memberi kami waktu untuk mengurus KPR, akhirnya kami coba lagi ke sebuah bank pemerintah. Petugasnya ramah dan menjelaskan dengan rinci. Sayangnya, bank itu hanya membiayai 70% dari pengajuan kita. Artinya, saya mesti menyiapkan banyak uang ditambah pajak pembelian dan biaya bank lainnya. Dan seperti sebelumnya, saya juga harus menyerahkan Rp 500 ribu untuk biaya apraisal. Mengingat hal itu, saya kemudian kembali membatalkan, karena sudah membayangkan seandainya nilai appraisalnya tinggi, tetap saja mahal karena bank hanya mau membiayai 70%.

Terakhir, kami kembali mengajukan KPR ke sebuah bank swasta. Di sana bank mau membiayai hingga 80% dari nilai apraisal. Dan saya sudah kembali harus menyiapkan Rp 500 ribu untuk biaya appraisal tersebut. Dan rencana saya, jika kali ini masih gagal, saya akan urungkan niat untuk membeli rumah lewat KPR. Tidak kuat dengan biaya 500 ribu tiap kali appraisal, sementara hasil appraisalnya justru yang menjadi penyebab gagalnya KPR tersebut. Ibaratnya, saya harus membayar 500 ribu untuk orang yang kemudian menjadi penyebab batalnya KPR yang saya ajukan. Penilai appraisal tentu punya dasar penghitungan untuk menilai rumah tersebut, namun mengapa harga yang ia berikan selalu jauh di bawah harga pasaran di kawasan terse but? Apakah pemilik rumah yang terlalu memasang harga tinggi atau petugas appraisal yang tidak update harga? Wallahu Alam.

Harga rumah di kawasan saya tinggal memang naik gila-gilaan. Beberapa bulan lalu, di depan rumah saya ada dibangun 3 rumah, harganya paling murah 400 juta, termahal 550 juta. Pemiliknya pengusaha yang memang bisnis bangun rumah lalu dijual. Baru sebulan, harga rumah tersebut sudah naik hampir 100 juta.

Menurut saya, kondisi saat ini sudah tidak wajar. Sebab sebagai warga yang memang membutuhkan rumah, kok sulit sekali rasanya memiliki rumah idaman. Pemilik rumah ingin menjual rumah dengan harga setinggi-tingginya, sementara petugas appraisal bank menilai rumah dengan sekecil-kecilnya, sehingga tidak akan pernah klop dan tetap saja nasabah yang akan diberatkan.

Sering saya mengernyitkan kening ketika membaca ada perumahan yang harus mengundi pembeli saking banyaknya peminat rumah di perumahan itu. Namun kemudian rumah-rumah itu kosong tak berpenghuni karena pemiliknya hanya membeli untuk investasi atau untuk dijual kembali atau menunggu hingga harga naik beberapa kali lipat.

Apakah pemerintah menyadari kondisi ini? Apakah pemerintah memiliki kebijakan untuk mengendalikan harga rumah ini? Setahu saya, pemerintah memiliki beberapa program rumah murah seperti bagi peserta Jamsostek, namun rumah murahnya tidak ada. Saat rumah murah tidak ada, rumah yang mahal pun susah digapai. Ironi negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi.


epsilon

0 komentar:

Om swastyastu

Copyright © 2012 SANKARACARYA .