Menengok Komunitas Bali Perantauan di Manado (2)

Jalan Terjal menuju Tempat Pemujaan
MANADO, NusaBali (Sabtu, 13 Juni 2009).
Jarak Pura Jagaditha Manado memang sangat dekat dengan kantor Walikota Manado. Dengan kendaraan bermotor, dengan waktu sekitar 20 menit, sudah sampai di bagian terbawah pura. Tapi dari bagian inilah tenaga pamedek dikuras. Orang dewasa yang akan masuk ke pura terbesar di Manado ini harus siap-siap menghimpun napas.

Mobil atau motor tidak bisa masuk terlalu dekat dengan pintu masuk pura. Dan jalan raya menuju pintu masuk pura, pamedek harus menyusun jalan terjal dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Jauhnya sekitar 250 - 300 meter tanpa anak tangga dan sangat licin. Dan sini pamedek pun harus menyiapkan tenaga lagi. Sebab di depannya masih ada 144 anak tangga yang harus dilalui dengan kemiringan yang sama.

Saat rencana pembangunan Pura Jagaditha akan digarap pada tahun 1990, berbagai usulan lokasi mengemuka. Salah satunya adalah ditetapkan di Desa Banjer, atau sesudah Desa Taas bila dari tengah kota. Atau di bawah studio dan kantor TVRI. Tapi Pamangku Pura Jagaditha Nyoman Dirta khawatir dengan usulan ini. Alasannya dikhawatirkan studio dan kantor tersebut membuang limbahnya ke arah pura. “Intinya kan harus di ketinggian. Kalau di sana, khawatirnya kena limbah,” kata Dirta.

Setelah lokasi pembangunan pura ditetapkan di atas Gereja Rumah Iman, bukan berarti pekerjaan sudah selesai. Krama perantauan ini pun harus bersusah payah lagi untuk meratakan lahannya. Sebab lahan seluas sekitar 5 ribu meter persegi ini berbentuk gundukan. Dengan kondisi ini, tidak mungkin pura atau bangunan lainnya didirikan. Satu-satunya jalan harus memangkas bagian puncak dan didatarkan agar bisa didirikan bangunan.

Sebenarnya lahan tersebut sudah menjadi hak milik Yayasan Pura Jagaditha sejak tahun 1986. Menurut Dirta pemangkasan bagian ujung bukit itu membutuhkan waktu sekitar 4 tahun. Makanya pembangunan pura baru bisa dilakukan pada tahun 1990. Masalah dana menjadi ganjalan selanjutnya. Selama ini sumber dana utama hanya dari swadaya krama transmigran saja. Bangunan padmasana pun digarap dengan dana seadanya. “Untuk lebih menghemat, kita tidak menggunakan batu. Kalau ini dibuat dari semen dicampur abu bambu,” tambahnya sambil menunjuk padmasana dimaksud.

Pembangunan padmasana ini pun boleh dibilang menjadi bahan percobaan arsitektur Jawa yang juga beragama Hindu, Ir Suryono. Menurutnya arsitek itu mengaku belum pernah mencoba mendirikan bangunan dengan bahan semen yang dicampur abu bambu. Tapi hanya ini satu-satunya jalan agar krama Hindu di Manado memiliki tempat peribadatan. Sebelum pura ini didirikan, krama Hindu menghaturkan sembahyang di rumah saja. “Beruntung bisa bertahan sampai sekarang,” tandas bapak tiga anak ini.

Terjalnya jalan menuju Sang Hyang Widhi ini juga dikemukakan oleh sesepuh transmigran Bali di Manado, Dewa Gede Sumatra. Terbatasnya dana membuat pihak yayasan tidak hisa menyewa pekerja. Makanya semuanya pekerjaan ‘kasar’ di pura itu dilakukan oleh krama Hindu secara gotong-royong. Termasuk meratakan puncak bukit untuk pendirian pura. Lamanya proses ini disebabkan warga hanya bisa gotong-royong ini pada hari Minggu saja. “Kalau hari biasa, mereka jelas bekerja. Makanya gotong-royong hanya dilakukan pada hari Minggu saja,” kata Sumatra kepada NusaBali dan rombongan Pekan Informasi Pembangunan Pemkot Denpasar bertandang ke pura tersebut, Kamis (11/6). mohammad zainuddin.

0 komentar:

Om swastyastu

Copyright © 2012 SANKARACARYA .